Cinta Tanpa Kata Mesra
By. Satria hadi lubis
SETIAP kali ditanya, "Mbah uti kangen mbah kung ya?" Mbah uti selalu menjawab, "Nggak."
Di masa tuanya, mbah uti dan mbah kung kemana-mana selalu berdua. Setelah pensiun, mereka berdua kembali ke kampung untuk bertani singkong. Maklum keduanya orang desa yang punya kenangan bertani di masa kecilnya.
Setelah makin tua dan mulai sakit-sakitan, mereka kembali ke rumahnya di Jakarta. Sakitnya pun bergantian. Jika mbah kung sakit, mbah uti yang merawatnya, begitu pun sebaliknya.
Hubungan mbah kung dengan mbah uti agak unik. Selalu berdua, tetapi gak pernah saling berkata mesra satu sama lain. Malah yang tampak mereka sering "bertengkar". Kami, anak dan cucunya, suka tertawa kalau melihat mbah kung dan mbah uti saling ngotot satu sama lain untuk hal-hal yang sepele. Biasanya mbah kung yang mengalah dan mengakhiri "pertengkaran" tersebut dengan ketawanya yang khas. Mbah kung memang pribadi yang "ramai", banyak bicara, ramah dan suka tersenyum. Sebaliknya mbah uti lebih pendiam, perhatian dan suka menolong.
Tanggal 1 Januari 2021, mbah kung meninggal dunia di usia 82 tahun. Sepekan sebelum meninggal dunia beliau jatuh di mesjid ketika Sholat Jumat. Dari situ beliau kemudian stroke dan meninggal dengan mudah dalam kondisi tidur di hari jumat berikutnya.
Meninggalnya mbah kung membuat kami, anak cucunya, kehilangan pribadi ramah yang hobinya suka mengunjungi cucu-cucunya. Mbah kung suka bercanda dan menasehati cucu-cucunya dengan senyumnya yang khas.
Tapi yang paling kehilangan tentu mbah uti. Walau mbah uti tidak pernah terlihat sedih dengan meninggalnya mbah kung, apalagi sampai ngomong kangen, tapi bahasa tubuhnya berkata lain.
Perlahan tapi pasti kesehatan mbah uti semakin menurun. Beliau semakin sering sakit dan semakin pendiam. Beliau seperti memendam sesuatu yang susah diceritakan kepada kami, anak cucunya. Dugaan kami, mbah uti kehilangan tempat curhat yang khas, yaitu suasana curhat yang saling ngotot dan "bertengkar" dengan mbah kung. Suasana yang mewarnai "gaya" pernikahan mereka selama puluhan tahun.
Sebulan sebelum meninggal, mbah uti kehilangan selera makan. Tidak bisa lagi dibujuk untuk makan. Kalau dipaksa, beliau muntah. Sudah berbagai upaya dicoba, termasuk membawa beliau ke rumah sakit, namun tetap saja beliau gak bisa makan.
Kondisi kesehatan mbah uti semakin memburuk. Beliau tidak bisa lagi berjalan dan hanya tiduran di kasur. Sampai akhirnya, tanggal 4 September 2021 mbah uti pergi pada usia 75 tahun, menyusul mbah kung yang meninggal 8 bulan lebih dulu.
Mbah uti dan mbah kung adalah contoh pasangan kurang romantis tapi langgeng. Cinta mereka tidak dibalut dengan kata-kata mesra, tapi dibuktikan dengan tindakan, karena mendalam dan dibawa sampai mati.
Banyak sekali pasangan yang mengumbar kemesraan di medsos tapi tiba-tiba terdengar kabar mereka bercerai. Ternyata cinta sejati itu fondasinya bukan kata-kata mesra, tapi bersyukur dan mengerti kekurangan pasangan.
Kata-kata mesra dan romantisme hanyalah bumbu pemanis pernikahan, namun tanpa komitmen yang kuat dan kesabaran yang tinggi tak akan mungkin pernikahan bisa bertahan sampai maut memisahkan sepasang suami isteri.
Semoga mbah kung dan mbah uti tersenyum bersama di alam kubur. Menunggu untuk berkumpul bersama di surga kelak dalam cinta mereka yang abadi.
- Ust. Satria Hadi Lubis
- satria hadi lubis
- Bagikan :
Komentar