• Agenda berikutnya :
  • 00hari
  • 00Jam
  • 00menit
  • 00Detik

Kebahagiaaan Versus Kesenangan

07 Nov 24

Kebahagiaaan Versus Kesenangan

BANYAK orang yang tak tahu perbedaan kebahagiaan dengan kesenangan. Padahal keduanya paradoks dan saling menisbikan satu sama lain. Jika kita ingin bahagia, maka tinggalkanlah kesenangan. Sebaliknya jika ingin senang, maka kebahagiaan sulit diperoleh. Tidak bisa seseorang mendapatkan keduanya, bahagia dan senang pada saat bersamaan.


Dalam bahasa Inggris, bahagia adalah happy atau happiness (kebahagiaan). Sedang kesenangan adalah pleasure atau fun. Jika dalam bahasa Arab, bahagia itu sa'adah atau sakinah. Sedang kesenangan itu syahwat atau mata'. Biasanya al Qur'an menggunakan istilah syahwat atau mata' untuk hal yang negatif. Misalnya, dalam surah ali Imran ayat 14 :

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang disenangi, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).


"Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya" (Qs. 3:198).

Setiap orang ketika ditanya, hidup untuk apa? Mereka pasti menjawab untuk mencari kebahagiaan (padanannya mencari ridho Allah, mencari pahala, berguna bagi orang banyak, masuk surga, dan semacamnya). Namun apakah benar hidupnya untuk mencari bahagia? Jangan-jangan bukan kebahagiaan yang dicari tapi justru kesenangan yang negatif dan menyengsarakan.

Oleh karena itu agar tidak terjebak pada pencarian semu (yakni mencari bahagia tapi justru malah terperangkap pada kesenangan yang menyengsarakan) mari kita pelajari apa perbedaan antara kebahagiaan dan kesenangan.

1. Ditinjau dari sasarannya.
Bahagia itu sasarannya adalah kepuasan dan ketenangan hati. Sedang kesenangan sasarannya lebih banyak kepada kenikmatan jasmani.
Jadi makan enak itu senang, tidur di kasur empuk itu senang, naik mobil mewah yang nyaman itu senang. Tapi sholat khusyu' itu bahagia. Shaum itu bahagia. Membantu orang lain itu bahagia. Jadi bahagia adalah bahasa hati yang seringkali tidak ada hubungannya dengan kenikmatan jasmani.


2. Ditinjau dari sifatnya.
Bahagia itu objektif dan bersifat universal. Sebaliknya, senang itu subyektif dan bersifat personal.
Allah menciptakan hati manusia secara sama dengan tujuan yang sama, yakni untuk bahagia. Agar hati manusia bisa bahagia, Allah SWT --sebagai pencipta hati manusia-- telah menetapkan caranya, yaitu dengan berzikir dan dekat kepada Allah serta melaksanakan segala perintah-Nya.

Sebaliknya, kesenangan itu subyektif tergantung masing-masing orang. Ada orang yang kesenangannya bermain musik, menggambar, main judi, mabuk, motoran, dan lain-lain (biasanya disebut passion, yang bisa baik atau buruk).

Jadi jika ada orang yang berkata, "Ngapain loe ngatur-ngatur hidup gue. Cara loe bahagia beda dengan cara gue", maka itu maksudnya subyektifitas terhadap kesenangannya yang berbeda. Sedang bahagia itu obyektif dan hanya satu caranya, yaitu dengan banyak berzikir dan mendekatkan diri kepada Allah.

"Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram" (Qs. 13:28).

3. Ditinjau dari dampaknya.
Bahagia itu berdampak pada ketenangan. Senang berdampak pada ketagihan.

Orang yang bahagia akan merasa tenang dan tenteram. Sebuah perasaan yang damai dan merasa puas terhadap apa yang didapat. Tidak menagih dan kecanduan. Sedang senang akan membuat orang yang mengalaminya ketagihan. Ia ingin mengulangi hal tersebut terus menerus, bahkan dengan dosis yang lebih tinggi. Contoh, memakai narkoba akan menyebabkan orang senang dan kesenangan tersebut menjadi candu yang menuntut penambahan dosis sampai taraf yang membahayakan dan sulit dihentikan. Begitu juga kesenangan-kesenangan lainnya cenderung membuat ketagihan untuk menambah dosisnya yang berujung kepada kerusakan dan kesengsaraan.


4. Ditinjau dari jangka waktunya.

Bahagia itu langgeng (lebih lama). Senang itu temporer.

Bahagia yang dirasakan seseorang biasanya berjangka panjang. Jika pun diulang seperti sholat yang dilakukan berulang-ulang maka hal itu adalah cara seseorang untuk mendapatkan kebahagiaan jangka panjang. Sebaliknya, senang itu sangat temporer. Contohnya, ketika seseorang berhubungan seksual. Nikmatnya hanya berlangsung singkat. Setelah itu rasa nikmat dan senang itu sudah hilang. Dan harus diulang lagi untuk mendapatkan kesenangan serupa, bahkan kalau bisa menambah dosisnya agar memperoleh efek kesenangan yang sama. Itulah sebabnya saat ini makin banyak penyimpangan seksual yang terjadi karena mereka mencari kesenangan yang menuntut dosis kecanduan yang lebih tinggi lagi.

5. Ditinjau dari penampakannya.
Bahagia itu belum tentu terlihat nyaman dan indah dalam penampakan secara kasat mata. Senang pasti berupa kenyamanan dan biasanya indah dipandang mata.
Orang yang bahagia belum tentu hidup kaya raya dan tinggal di alam bebas, tapi bisa juga kebahagiaan diperoleh oleh mereka yang hidup kekurangan secara materi atau bahkan hidup di dalam penjara seperti yang dialami oleh Nabi Yusuf as. Nabi Isa as yang hidup papa atau Nabi Ayub as yang sakit sepanjang hidupnya tetap bahagia walau hidupnya tidak nyaman.
Namun kesenangan pastilah berupa suasana yang nyaman dan enak, seperti tinggal di rumah mewah atau memakai baju yang mahal dan bagus.

6. Ditinjau dari akhirnya.
Bahagia berakhir dengan kesenangan dan ketenangan, terutama di surga kelak. Senang berakhir dengan kesedihan dan kesengsaraan.
Bagi orang yang mencari bahagia, kesenangan tetap akan diperolehnya tapi kebanyakan akan didapat di surga kelak, sebagai akhir yang baik. Sebaliknya bagi orang yang mengejar kesenangan, maka hidupnya akan berakhir dengan kesedihan dan nanti di akhirat akan masuk neraka sebagai kesengsaraan tak terperi. Naudzubillah.

Kesimpulannya, mari kita mencari kebahagiaan bukan kesenangan. Prinsipnya, semakin bersenang-senang semakin jauh kita dari kebahagiaan. Sebaliknya, semakin ingin bahagia maka semakin harus menjauhi banyak kesenangan. Itulah sebabnya para Nabi termasuk Nabi Muhammad saw, para sahabat ra, para ulama dan mujahid di sepanjang jaman menjauhi hidup bersenang-senang untuk memperoleh kebahagiaan.

Jadi bolehkah kita bersenang-senang? Jawabannya boleh saja, tapi harus dikendalikan dan dibatasi. Kesenangan itu seperti garam dalam makanan, sedikit tapi tetap diperlukan. Jika garam terlalu banyak dalam makanan, maka yang terjadi adalah berbagai penyakit yang merusak tubuh. Begitu pun kesenangan perlu dibatasi agar hidup kita bahagia. Wallahu'alam.

By. Satria hadi lubis

  • Ust. Satria Hadi Lubis
  • shl
  • Bagikan :

Tentang : Ust. Satria Hadi Lubis

Drs. H. Satria Hadi Lubis,.MM.MBA adalah penceramah, trainer dan penulis yang berfokus pada bidang life skills, ketahanan keluarga dan dakwah. Tulisannya tersebar di berbagai media sosial, di antaranya sudah dibukukan dalam 17 buah buku. Beberapa judul bukunya : Breaking The Time, Burn Your Self, Menjadi Murobbi Sukses dan Menggairahkan Perjalanan Halaqoh.

Satria Hadi Lubis telah berbicara di berbagai tempat dan organisasi dengan lebih dari 25.000 jam untuk membangkitkan motivasi hidup, meningkatkan harmonisasi keluarga dan produktivitas dakwah. Pernah juga muncul di LA TV (sekarang TV ONE) sebagai pengasuh dan pengisi acara tetap kuliah subuh.

Beliau juga pernah dua kali mengikuti pendidikan S3 walau tidak sampai lulus. Dan saat ini menjadi dosen di PKN STAN semenjak tahun 1998.

Sekarang ini beliau dikarunia 8 orang anak (4 putra, 4 putri) dan seorang istri bernama, Kingkin Anida. Tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.

Satria Hadi Lubis dapat dihubungi di nomor HP : 0813-16444034. Fb : Satria Hadi Lubis.